Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


 
HomePortalLatest imagesRegisterLog in

 

 sidartha gautama

Go down 
AuthorMessage
[A]lle[N]
Operator
Operator
[A]lle[N]


Posts : 96
Join date : 2009-05-23
Age : 32

sidartha gautama Empty
PostSubject: sidartha gautama   sidartha gautama Icon_minitimeTue May 26, 2009 3:53 pm

>Ilmu Sosial>Gautama

.
Berikut
>
Gautama
Summary rating: 2 stars (1 Tinjauan)
Kunjungan : 168
Comments : 0
kata : 600
oleh : NasrulAzwar
Pengarang : Goenawan Mohamad
Diterbitkan di: Januari 22, 2008
Kita tahu cerita termasyhur ini: seorang pangeran
lahir di dekat kota kecil Kapilavastu, putra mahkota yang jerit
pertamanya dari kandungan ditandai oleh keceriaan alam. Yang
dramatis dari riwayat ini ialah ketika ia dewasa, Sidharta Gautama
memulai sebuah sejarah besar dengan sebuah selamat tinggal yang
radikal.
Masa lalunya, yang ditopang takhta dan kekuasaan, dijalin lezatnya
hidup di puri dan bahagianya hidup berumah tangga, jadi masa yang
terasa sebagai ilusi.
Pangeran yang lembut hati itu—meskipun dicoba dijauhkan dari dunia di
luar istana yang terlindung—telah melihat seorang yang sakit,
menyaksikan orang jadi tua renta, dan bersua dengan jenazah yang
diusung.Pangeran yang lembut hati itu—meskipun dicoba
dijauhkan dari dunia di luar istana yang terlindung—telah melihat
seorang yang sakit, menyaksikan orang jadi tua renta, dan bersua dengan
jenazah yang diusung. Agaknya kefanaan yang disaksikannya itu
mengguncang hatinya benar. Ia akhirnya menyadari bahwa semua itu bagian
dari hidup—yakni sebuah jurang yang dalam, di mana kematian dan
ketiadaan melekat erat dengan dan dalam diri.
Tapi yang menarik ialah bahwa hal itu tak memberi Buddhisme—yang
berangkat dari pandangan dan pengalaman Sidharta Gautama itu—sebuah
dalih untuk membinasakan hidup dan diri sendiri.
Saya bukan seorang Buddhis, dan hanya sedikit yang saya pahami tentang
agama ini, tapi jika ada yang menggugah dari dalamnya ialah bahwa
seraya melihat hidup sebagai sesuatu yang mengapung-apung di atas
ketiadaan, Buddhisme tak menyebarkan sikap yang pahit dan amarah
terhadap nasib.Yang mengerikan di masa ini ialah ketika
ketidaksabaran mendapatkan tauladannya pada dua hal: manusia yang
menang dan Tuhan yang murka.
Manusia yang menang—yang bisa mempengaruhi opini dunia, yang bisa
menaklukkan orang lain, yang bisa membeli hal-ihwal, dan yang bisa
mengakumulasikan milik dan kuasa—itu kita saksikan setiap hari di
media, di gedung-gedung peradilan dan pemerintahan, di pasar, di medan
perang dan konflik. Sedangkan Tuhan yang murka kita dengarkan hampir tiap pekan lewat mimbar agama yang mengancam hidup dengan api neraka.
Tapi kita tahu bahwa akhirnya ketidaksabaran akan terbentur dan kemenangan hanya terbatas jangkauannya.
Di situlah kesadaran akan ”sunyata”, akan apa yang suwung, sunyi dan
”hampa” yang tersembunyi dalam hidup jadi penting untuk membentuk
kesadaran akan terbatasnya ”aku”….
eperti Sang Guru yang namanya mirip dengan namanya,
Siddhartha bermula dari rasa murung dan berakhir dengan rasa tenteram
pada posisi yang tak muluk.
Tapi ia tak menjadi penganut Sang Buddha.
Ia tetap seorang penarik perahu tambangan yang duduk mendengarkan
sungai. Ada yang mengatakan ia seorang bijaksana dengan petuah yang
menyejukkan. Ia—seorang keturunan Brahmana yang tampan dan
cerdas—memang pernah jadi seorang pengembara, meninggalkan kenikmatan
dunia. Ia bahkan pernah mengikuti Buddha Gautama. Tapi tetap saja ia
tak berbahagia. Akhirnya ia tahu: tanpa mengikuti doktrin apa pun,
tanpa menganut ajaran agama apa pun, ia melebur diri dalam dunia,
mengikuti gema alam, mencari percakapan dengan air yang mengalir.Begitu lama telah kujalani proses belajar, dan itu pun
belum selesai untuk memahami ini, duhai Govinda: bahwa tak ada yang
harus dipelajari!…”
Tapi tidakkah dengan demikian yang akan tumbuh hanyalah sikap pasrah? Kesabaran yang hanya akan berakhir dengan ketidaktahuan?
Barangkali demikian.
Tetapi barangkali juga yang hendak ditunjukkan Siddhartha yang
dihadirkan Herman Hesse adalah bahwa ada sikap takabur ketika kita
melupakan apa yang menyentuh dan kita sentuh mesra dengan kaki kita di
tanah: benda-benda bersahaja yang sesungguhnya mengandung rahmat.Syahdan, dalam posisi bertapa yang habis-habisan, sehingga tubuhnya nyaris rusak, Sang Buddha mendengarkan nyanyian ini:
Dawai yang terentang terlampau tegang akan putus, dan musik akan mati
Dawai yang terentang kendur akan hilang bunyi, dan musik akan mati
Back to top Go down
 
sidartha gautama
Back to top 
Page 1 of 1

Permissions in this forum:You cannot reply to topics in this forum
 :: LoveGamers d'Caffe :: Religi Center :: Budha-
Jump to: